Perjalanan kemudian aku naik angkutan umum. Angkot di Belawan sama noraknya dengan angkot lain di negaraku. Warnanya kuning taik, atau biru bilur dengan corat -coret curhat sopir, " gak pulang kangen, pulang diomelin..., gak ingat wajahnya tapi ingat rasanya...., Atau yang khas Medan : Tomat mulana, Labo dari Tigan....( kelak kalian kucritain apa arti semua ini).. de el-el.
Rencananya angkot ( angkutan kota) membawa kami ke kota Medan yang jaraknya sekitar 40 km dari pelabuhan. Entah aku nanti diturunkan di Medan mana, namanya juga baru sekali ini mengunjungi kota ini. Disuruh masuk-aku ngikut saja. Terus terang saja, meskipun banyak model kernet atau calo angkot berteriak-teriak kombinasi bariton -alto ( berat-melengking) aku tetap saja dibuat kaget. "....bang , ongkos dulu..." ,Persis kayak makan di fastfood, bayar dulu baru makan, ini bayar dulu sebelum berangkat."Ayo ligat-ligat..."Begitulah bahasa khas Medan melai mencoret hari hariku.
Tidak butuh waktu lama angkot terisi penuh . Seketika meluncur meninggalkan keriauhan Belawan .Angkot bergerak cepat. Menerobos rasa bosan dan segala bentuk lampu merah.Mataku tidak terpincing sedikit pun. Ada ketertarikan besar melihat segala rasa di luar . Memang beda dengan di Jawa. Seperti saat masuk jalan tol. Situasi jalan tol berbedah jauh dengan jalan tol di Surabaya. Jalan tol di sini tidak banyak kendaraan dan berkesan tidak sibuk. ( apa ya kata lebih spesifik dari sibuk?). Kalau di tol Surabaya tepatnya antara belabuhan Tanjung Perak sampai ujung -saat itu- Gempol Porong, namanya Tol bagiku sudah ramai luar biasa. Di Tol Belawan ini aku rasa hanya lalau lalang kendaraan yang sepi-sepi saja. Kesannya kendaraan roda empat masih jauh lebih sedikit .
Sepanjang tol aku melihat banyak sekali pohon kelapa yang gundul alias tak berdaun sama sekali. Apakah itu karena sengaja dimatiin atau kena petir. I dont know. Hamparan rawa di kiri kanan-lalu hamparan tanah kosong seperti bekas kebun yang begitu luas. Tidak ada bangunan sama-sekali. Lalu lingkungan jalan tol pun tak seramai dan seasri tol yang selama ini aku tahu, baik di Surabaya, Semarang atau Jakarta. Lebih kaget lagi di ujung jalan tol ini berlaku kendaraan dua arah. Saat itu aku kaget bukan kepalang. Wah, nekad sekali. Ini memang Medan.
Setelah ganti kendaraan, aku naik "kereta" menuju rumah mas sepupuh. Aku tidak habis pikir kenapa mereka menyebut nama benda ini "kereta". Padahal di Malaysia disebut bikesikel. "Kereta" sendiri berarti mobil. Awalnya aku gak biasa menyebut kata "kereta" , ada rasa geli. Dibayanganku kata kereta berarti kendaraan tradisional ditarik kuda,semacam delman atau kendaraan para raja. Aku lebih nyaman menyebut sepeda motor.Tapi semua itu memang soal kebiasaan,lama-lama aku juga nyebut "kereta".
Kami menuju kesebuah pemukiman pinggiran Medan.Lingkungannya juga mengundang keheranan. Daerah ini di apit oleh jalan utama dan jalan tol. Kampungnya beda sekali dengan kampung di Surabaya atau kampung kampung di perkotaan Jawa.Disini jalan kampung masih berupah tanah dan batu. Banyak kubangan becek, dengan parit mampet yang kotor. Kesannya orang sini males diajak ngomong kebersihan. Kesan tidak elok ini kelak diperkuat oleh pernyataan Ibu mertua mas sepupuhku ini. Beliau datang dari Lumajang kota. Begitu sampai di rumah menantunya komentarnya sama dengan komentarku; jorok. Maksudnya yang jorok bukan rumah menantunya, tapi lingkungan atau kampung di situ terkesan jorok kalau dibanding dengan kampung kampung atau gang-gang di kota-kota Jawa, begitu lo....Pas dengan pendapatku. Rasanya kalau tinggal disini aku gak bakalan krasan.Tapi ini catatan tahun 1999. Beda sekali dengan keadaan saat ini. Jadi mohon orang kampung situ jangan tersinggung dengan tulisan ini.Apapun pendapatku nyatanya aku harus tinggal beberapa hari di rumah itu dan rumah masku itu juga awal kehidupanku di Medan. Sangat berjasa. Trimakasih ,mas . sudah memberi tumpangan.
Tidak berapa lama aku mendapat kontrakan di jalan Perjuangan. Aku lupa nama gang-nya. Gang ini sampai sekarang masih ada. Letak jalan ini dekat dengan gang Sado. Aku ingat komentar kawan dengan alamat rumahku, gabungan kata perjuangan dan sabar. Klop sekali dengan kondisi saat itu. (bahkan saat sekarang , ha..ha...). Di mulut gang ada kedai kopi yang selalu ramai. Banyak orang nongkrong dengan aktivitas khas warung; mbahas togel, kombur, ngisi TTS,baca koran, main kartu, main catur. Di gang ini aku banyak lihat corat coret di tembok kata "GAP" yang kemudian aku baru ngerti itu kepanjangannya Gabungan Anak PAdang. Memang di daerah itu-dikemudian hari-aku tahu banyak bermukim orang Padang.
Beberapa hari tinggal di rumah itu sendiri, tentu saja aku masih bergaya jaim dan Jawa banget. Jika berjalan melewati orang lain yang notabene tetangga-dan belum tahu namanya- aku membungkuk atau mengangguk hormat.Sambil bengeluarkan kata-kata sapa seperti "mari,bu..., mari,pak...."dengan bonus senyum . Bagi kawanku itu gaya "Jawa banget"
"Kamu nampak kali dari Jawa, gak usah gitulah disini orang tambah risih digituin..." Memang kulihat si kawan ini kalau sedang ngelwati orang atau kerumunn orang, asal lewat saja tanpa permisi-permisu. Nylonng saja gak perduli. Buatku itu aneh, tapi mungkin buat orang sini itu lebih enak. Kalau to ada sapaan bukan kata "mari,buk..." tapi cukup "Yok,buk...!"
Pada minggu ke dua aku didatangi orang yang mengaku "Pak Keplor" Keplor kepanjangan dari Ketua Lorong. Ini juga istilah yang baru kudengar ,kalau di Jawa mungkin setara dengan RT. (Rukun Tetangga). Bapak itu datang tujuannya meminta identitasku. "Soalnya situasi Medan saat ini sangat rawan,,," Lalu ia menceritakan tentang peredaran narkoba sampai kemungkinan persembunyian pembrontak negara. Bagiku sih,wajar wajar saja bapak itu datang. Barang kali memnag tugasnya untuk mengetahui pendatang baru kayak aku. Lagian memang kehadiranku dilingkungan itu lumayan mencolok banget.Satu: Rambut cepak, badan lumayan -masih-gagah, logatnya medok banget jawanya. Aktifitasnya gak jelas, pagi keluar rumah , datang malam, itu pun dua-atau tiga hari kemudian. Tinggal sendiri lagi. Namun dari arah pertanyaannya, bapak itu ingin memastikan apakah profesiku bukan intel atau alat negara yang ditugaskan ke Medan. Dari sisi situasi Medan cocok-cocok saja ia berpraduga demikian. Soalnya imbas dari provinsi sebelah -yang tidak jauh dari Medan-memang sedang panas-panasnya. Tapi kalau intel beneran, betulan masak tinggal dikontraklan dalam gang kayak gitu.